:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Thursday, August 04, 2005

Suara Keledai

Ibnoe Dzulhadi


Al-Qur'an, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah mengandung banyak permisalan (al-matsal). Sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur'an merupakan Kitab Suci tunggal (di dunia hingga hari kiamat) yang sarat “permisalan” atau perumpamaan tersebut. Dan, permisalan tersebut khusus diturunkan dari langit buat manusia. Agar manusia benar-benar dapat berpikir dan mengambil pelajaran (i'tibar, 'ibrah dan al-tadzakkur). Dan memang Allah tidak akan pernah merasa malu untuk memberikan “permisalan” kepada manusia. Meskipun permisalan yang diberikan-Nya lebih rendah dan hina dari “nyamuk” (Qs. Al-Baqarah [2]: 26). Karena Allah memang “tidak punya rasa malu” dalam menerangkan kebenaran (al-haqq) kepada hamba-Nya (Qs. Al-Ahzab [33]: 53).

Hal ini dapat ditemukan secara gamblang dari eksplanasi Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al-Qur'an ini segala macam permumpamaan untuk manusia…” (Qs. Ar-Rum [30]: 58) dan “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur'an ini segala macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran” (Qs. Az-Zumar [39]: 27). Meskipun kemampuan manusia dalam menangkap pesan “permisalan” tersebut berbeda-beda. Dan (memang) orang yang dapat menangkap pesan di balik “permisalan’ tersebut menurut Allah hanya orang-orang yang “memiliki ilmu” (Qs. Al-'Ankabut [29]: 43).

Salah satu bentuk dari “permisalan” yang dibuat oleh Allah untuk kita adalah “suara keledai”. Suara keledai menurut Allah adalah “sejelek-jelek” bentuk suara makhluk ciptaan-Nya. Permisalan tersebut adalah salah satu nasehat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Ia menasehati anaknya agar “melunakkan” suaranya: bersikap ekonomis dan tidak “mubadzir” dalam berkata-kata. Ia berkata kepada anaknya:...”dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai” (Qs. Luqman [31]: 19). Lalu apa maksud dari “suara keledai” itu?

Sebagai refleksi individual experience, penulis lumayan sering mendengar “suara keledai” ini. Karena kebetulan orang-orang di negeri Firaun dan bumi Kinanah ini penduduknya banyak yang memiliki keledai. Suaranya cukup “lucu” dan “menggelikan”. Biasanya mirip dengan orang yang sedang mengasah kikir: alat pengasah gergaji. Sehingga ia sering membuat “terkejut” orang yang mendengarnya.

Suara keledai adalah perumpamaan “ketidak-tawadhu-an”. Ia adalah lambang ke-takabbur-an dan pragmatisme. Karena ternyata, keledai tidak sering mengangkat suaranya, kecuali ketika (hendak) mengekspresikan “rasa lapar” dan ingin “melampiaskan nafsu birahinya”. Ketika perutnya keroncongan, ia langsung angkat suara. Dan ketika nafsunya bergejolak, ia berteriak sekuat-kuatnya. Sungguh pragmatik memang.

Selain itu, suara keledai melambangkan perbuatan yang tidak memiliki manfaat yang jelas: karena hanya terbatas pada urusan perut dan birahinya. Sehingga Imam Ali karramallahu wajhah berkomentar: “Siapa yang hanya memikirkan masalah perut, maka ia tidak lebih dari apa yang keluar dari perutnya”. Bisa jadi para penguasa yang pragmatik: yang pura-pura menyuarakan aspirasi rakyat, suaranya adalah “suara keledai”. Karena ia tahu benar bahwa suara rakyat itu adalah “suara Tuhan”: besar manfaatnya dalam mengeruk keuntungan. Namun ketika urusan perutnya selesai, rakyat pun dilupakan. Ketika urusan birahinya terlampiaskan, rakyat pun lepas dari memorinya.

Dalam hal ini, yang diperlukan adalah “harmonisasi” antara ucapan dan tindakan. Bukankah wakil rakyat yang baik adalah yang mengerti arti ucapannya. Dan ia paham kepada siapa ia berbicara. Ia sedang berbicara kepada suara Tuhan: yang tidak dapat ditipu dan dimanipulasi.

Nabi saw juga menerangkan agar umatnya tidak berbicara dan beraksi, jika tidak memiliki target dan manfaat yang riil. Beliau menginginkan umatnya agar (benar-benar) dapat mengontrol “mulut” dan “lisannya”. Bahkan beliau menyatakan bahwa indikasi iman adalah berbicara yang baik. Atau kalau tidak baik, lebih baik diam. Juga, refleksi iman itu adalah “memuliakan tetangga dan tamu”. Hal ini dijelaskan oleh beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan (menghormati) tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR Bukhari dan Muslim).

Intinya beliau menyatakan: “Ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak ada manfaat yang diambil olehnya” (HR Turmudzi dan yang lainnya. Ini adalah hadits Hasan.). Sehingga, menurut Imam Malik ibn Anas dalam al-Muwatha’-nya menyatakan bahwa ia mendengar kisah tentang Luqman bahwa ia (Luqman) ditanya: “Apa yang membuatmu seperti yang kami saksikan ini –kemuliaan dan keutamaan?” Ia menjawab: “Shidq l-hadits wa ada’ l-amanah wa tarku mala ya'nini” (Berkata jujur, menunaikan amanah dan meninggalkan apa yang tidak ada manfaatnya bagiku). Karena menurut Rasul saw bahwa “salah satu bentuk “kefakihan” seseorang adalah sedikit bicaranya dalam hal yang tidak bermanfaat baginya” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal).

Suara keledai benar-benar seburuk-buruk suara makhluk Allah. Maka jangan pernah meniru suara keledai: suara yang “memekakkan” telinga orang yang mendengarnya: suara yang mengusik ketentraman orang banyak. Suara pragmatisme. Hati-hatilah dari “suara keledai”.

Wallahu a'lamu bi al-shawab

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home