:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Thursday, August 04, 2005

Bukti Tak Terbantahkan dari Tanah Haram

Vita Sarasi


"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS Luqman : 16). Begitulah salah satu pesan Luqman, yang telah dianugerahi Allah SWT sebagian hikmah-Nya, kepada anaknya yang bernama Tharan.

Pesannya singkat namun isinya begitu mendalam. Intinya, bahwa Allah SWT sudah menetapkan sistem balasan (reward and punishment) pada setiap perbuatan manusia secara sangat akurat, adil, dan pasti akan terjadi. Persoalan ini mungkin tampak biasa saja, namun bila kita menyimak cerita pengalaman seseorang pada saat melaksanakan haji di Tanah Suci maka kita akan mengetahui betapa dahsyat dan seketikanya balasan-Nya. Ibaratnya, detik ini seseorang berbuat atau berkata sesuatu, detik berikutnya ia langsung mendapat balasan yang sesuai dengan kebaikan atau keburukannya. Saya mendapatkan kisah-kisah berikut ini dari rekan-rekan yang sudah menjalaninya.

Kisah pertama tentang seorang manajer sebuah perusahaan penerbangan. Saat berada di dekat Masjidil Haram ia bertanya pada temannya, “Mana Ka’bahnya?” Temannya merasa heran sambil menunjuk sosok Baitullah yang megah. ”Lho, itu kelihatan sangat jelas dari sini, kenapa Anda tidak bisa melihatnya?” Anehnya hingga selesai menunaikan ibadah hajinya, manajer tadi tetap tidak bisa melihat Ka’bah. Tidak masuk akal bukan? Kemudian barulah ia mengaku, bahwa selama itu ia terus memikirkan pekerjaan yang ditinggalkannya. Ia kuatir anak buahnya tidak bisa menjalankan amanah pekerjaannya waktu ditinggal haji. Jadi, walau fisiknya berada di Mekkah, namun hati dan pikirannya berada di tempat kerjanya.

Kisah kedua tentang seorang tenaga profesional sebuah perusahaan multinasional. Pada waktu itu ia bersama temannya bertadarus di Masjidil Haram menunggu waktu sholat fardhu tiba. Di depan mereka ada seorang yang berperawakan tinggi dan hitam, namun telapak kakinya terlihat merah sekali. Tanpa sadar ia berkomentar, “Orang negro itu mungkin jarang pakai sandal ya.” Temannya tak menanggapi dan terus mengaji. Sewaktu akan pulang ke hotel, ia celingukan karena kehilangan sandalnya. Anehnya sandal temannya yang diletakkan bersebelahan ada. Tanpa pikir panjang, ia bertelanjang kaki ke toko untuk membeli sandal baru. Tapi keesokan harinya, sandalnya hilang lagi. Kejadian itu berulang terus hingga beberapa kali. Akhirnya ia sadar akan kekhilafannya pada orang negro itu. Astaghfirullah, ia langsung mohon ampun pada Allah SWT. ”Ya Allah saya ingin minta maaf pada orang negro tersebut, tapi bagaimana saya bisa menemukannya?” Alhamdulillah doanya dikabulkan, karena setelah itu sandalnya tak pernah hilang lagi.

Saya kemudian ingat bahwa kisah-kisah tadi sesuai dengan peringatan Allah SWT dalam QS. Al Baqarah 2 : 197 yang artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Catatan: Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau keinginan untuk bersetubuh)

Yang dimaksud bertaqwa kepada Allah SWT adalah menahan diri dari apa-apa yang dilarang oleh-Nya dan melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Bekal taqwa itulah yang dimiliki oleh seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi terkemuka dalam kisah ketiga berikut ini.

Sewaktu shalat di Mesjidil Haram ia kehilangan dompetnya. Paspor, uang sekitar 300 US dollar dan kunci hotelnya raib semua. Bisa dibayangkan jika ia merasa panik, namun Alhamdulillah ia bisa tetap tenang dan terus melakukan ibadah tanpa mempedulikan peristiwa tersebut. Dari sejak berangkat ia telah membulatkan niatnya berhaji hanya untuk mencari ridha Allah SWT semata. Tak berapa lama kemudian, ia berkenalan dengan seseorang yang rupanya menjadi anggota rombongan seorang pemimpin negara. Ia ditawari menjadi pemandu karena kemahirannya berbahasa Arab dan Inggris. Alhasil ia bisa melaksanakan seluruh rukun haji dengan sempurna bersama dengan rombongan itu. Bahkan kemudian ia bisa tidur di hotel berbintang dan sewaktu pemimpin negara tersebut pulang, ia diberi tiket pesawat dan pesangon 6000 US dollar atau sepuluh kali lipat dari uangnya yang hilang. Subhanallah.

Benarlah firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah 2 : 158 yang artinya: ”Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (Catatan: maksud dari Allah SWT mensyukuri hamba-Nya adalah memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya dan menambah nikmat-Nya).

Balasan seketika pada seseorang sewaktu naik haji merupakan bukti bahwa janji dan ancaman Allah SWT pasti akan dilaksanakan-Nya. Hal itu juga menunjukkan bahwa manusia akan memperoleh apa yang diusahakannya. Allah SWT berfirman dalam QS. An Najm 39: ”dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.

Balasan Allah SWT itu bisa dilaksanakan langsung di dunia atau di akhirat kelak sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Mu’min 17: ”Pada hari ini (hari berbangkit) tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” Jadi, jika saat ini ada orang yang rajin beribadah dan jujur tapi hidupnya pas-pasan bukan berarti Allah SWT tidak menghargainya. Sebaliknya kita tidak perlu risau jika masih ada orang yang aman-aman saja ber-KKN-ria; bukan berarti mereka akan luput dari hukuman-Nya.

Seyogyanya kita ingat pula pesan Sayyidina Umar bin Khattab ra. ''Hisablah diri kamu sekalian sebelum dihisab oleh Allah. Dan berhias dirilah (dengan amal) untuk menghadapi ujian terbesar. Sesungguhnya, penghisaban di hari kiamat itu hanya akan terasa ringan bagi orang yang terbiasa menghisab dirinya di dunia.''

Wallahua’lam bish-showab.

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home