:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Tuesday, June 07, 2005

Belajar dari Awan


Hari itu satu pekan panjang yang penuh dengan kesibukan mengajar keliling negeri telah kulewati sekali lagi. Seperti biasa aku ingin menikmati situasi santai dalam penerbangan pulang, membaca yang ringan-ringan, bahkan memejamkan mata beberapa menit bilamana sempat. Kendatipun demikian, aku mencoba menerima apa pun yang akan terjadi.

Maka biasanya aku mengucapkan doa pendek berikut: Siapa pun yang Kautakdirkan duduk di sebelahku, biarlah ia seperti apa adanya, dan bantulah aku agar dapat menerima apa pun yang tersedia bagiku.

Pada hari yang khusus ini, ketika aku masuk ke dalam pesawat, ternyata seorang anak kecil, sekitar delapan tahun, duduk pada kursi dekat jendela di sebelahku. Aku menyukai anak-anak. Namun, aku sedang merasa lelah. Naluri pertamaku adalah, 'Apa boleh buat, aku tak tahu nasibku kali ini.' Dengan berusaha bersikap ramah, aku menyapanya dan mengajaknya berkenalan. Ia menyebutkan namanya, Bradley. Kami langsung mengobrol dan, hanya dalam beberapa menit, ia menaruh kepercayaan kepadaku, dengan berkata, "Ini pertama kali saya naik pesawat. Saya agak takut."

Ia bercerita kepadaku bahwa ia dan keluarganya baru menjenguk sepupu-sepupunya, dan ia diminta tinggal lebih lama sedangkan orangtuanya pulang terlebih dahulu. Kini ia pulang sendirian, dengan pesawat terbang.

"Naik pesawat itu keciiil," kataku, berusaha menumbuhkan keyakinannya.

"Mungkin dapat dianggap salah satu yang paling mudah di antara yang pernah kaulakukan." Aku diam sejenak, untuk berpikir, dan kemudian aku bertanya kepadanya, "Pernahkah kau naik roller coaster?" "Saya senang naik roller coaster!" "Pernahkah kau menaikinya tanpa berpegangan?" "Oh, ya. Saya seneng sekali." Ia tertawa. Sementara aku berpura-pura ketakutan.

"Pernahkah kau naik di depan?" tanyaku lagi dengan wajah pura-pura merasa ngeri. "Ya. Saya selalu berusaha mendapatkan tempat duduk paling depan!"

"Dan kau tidak merasa takut?"

Ia menggelengkan kepalanya, tampaknya ia kini telah merasa berhasil mengimbangi aku.

"Sesungguhnyalah, penerbangan ini tidak seberapa dibanding naik roller coaster.

Aku tidak berani naik roller coaster, tapi aku tidak takut sama sekali bila naik pesawat terbang."

Seulas senyum mulai tampak pada wajahnya, "Betulkah itu?" Aku dapat melihat bahwa ia mulai berpikir bahwa mungkin ia memang pemberani.

Pesawat mulai ditarik menuju ke ujung landasan. Dan ketika akhirnya pesawat itu meluncur naik, ia memandang ke luar jendela dan mulai bercerita dengan sangat bersemangat tentang segala yang dialaminya. Ia mengomentari bentuk-bentuk awan yang dilihatnya, dan gambar-gambar yang seolah-olah telah dilukis di angkasa. "Awan yang ini seperti kupu-kupu, dan yang itu kelihatan seperti seekor kuda!"

Tiba-tiba, aku juga melihat melalui mata seorang anak usia delapan tahun. Rasanya seolah-olah aku baru pertama kali itu terbang.

Belakangan Bradley bertanya tentang pekerjaanku. Aku bercerita tentang pelatihan yang kuselenggarakan, dan mengatakan bahwa aku juga membintangi iklan untuk radio dan televisi.

Matanya langsung bersinar. "Saya dan adik saya pernah menjadi bintang iklan televisi."

"Oh, ya? Bagaimana rasanya?"

Ia bercerita bahwa pengalaman itu sangat mengesankan.

Kemudian ia berkata bahwa ia perlu ke kamar kecil.

Aku berdiri agar ia dapat keluar ke gang. Saat itulah aku melihat alat penguat pada kedua kakinya. Bradley beringsut-ingsut menuju ke kamar kecil di belakang.

Ketika ia duduk kembali, ia menerangkan, "Saya menderita distrofi otot. Adik perempuan saya juga - ia bahkan harus memakai kursi roda. Itu sebabnya kami menjadi bintang iklan. Kami dijadikan contoh untuk anak-anak yang menderita distrofi otot."

Waktu pesawat mulai turun, ia memandang kepadaku, tersenyum, dan bicara dengan nada yang agak-agak malu, "Tahukah Anda, saya betul-betul khawatir tentang siapa yang akan duduk di sebelah saya di pesawat. Saya takut ia orang yang ketus, yang tidak mau bicara dengan saya. Saya senang bisa duduk bersebelahan dengan Anda."

Ketika mengenang seluruh pengalaman itu pada malam harinya, aku diingatkan tentang untungnya bersikap terbuka. Setelah sepekan penuh menjadi pengajar, begitu selesai aku justru menjadi siswa.

Sekarang setiap kali aku merasa suntuk - dan itu cukup sering - aku memandang ke luar jendela dan mencoba menebak bentuk awan yang terlukis di angkasa.Dan aku teringat dengan Bradley, anak istimewa yang mengajariku pelajaran itu.

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home