:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Tuesday, May 10, 2005

Telinga dan Tangan Ibu


Berada bersama ibu begitu menenangkan. Sebab rasanya ibu tak pernah lelah menjadi 'telinga terbaik' bagi setiap cerita yang mengalir deras dari mulut saya, setiap kali sampai di rumah, selesai beraktifitas seharian. Ibu tak perlu bertanya apapun, saya akan duduk manis berlama-lama di kamarnya, menumpahkan segala yang telah memenuhsesakkan dada ini. Saya tak pernah berpikir sebelumnya, bahwa celoteh saya saat itu bisa jadi akan menambah lelah dan memberatkan beban yang sudah menggelantung di pundak ibu. Tapi senyumnya tetap melipur hati, seolah letih itu tak ada.

Hari itu, saya begitu tergesa sampai di sekolah, hampir saja terlambat. Pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya, saya telah ikut sibuk membereskan banyak sekali barang. Sekitar pukul tujuh, saya dan ibu telah berada di sebuah lobby hotel terkenal di Jakarta. Hari itu, untuk yang pertama kalinya, saya berhadapan dengan sekian banyak turis yang berseliweran dengan wajah-wajah penuh antusias memandangi, melihat-lihat, dan bercakap-cakap dengan kami-para penjaja barang dagangan di stand bazaar. Kali itu, saat yang istimewa bagi ibu, hari pertama menjadi peserta bazaar yang dihadiri para turis maupun pekerja asing. Saya pun tak kalah semangatnya, sepanjang siang di sekolah tak henti-hentinya tersenyum-senyum sendiri, sampai teman sebangku saya-Rani namanya-rasanya sudah begitu bosan mendengar celotehan saya tentang pengalaman pagi itu. Menyaksikan dan terkikik geli mendengar ibu bercakap-cakap dengan para pembeli. Ngawur, tapi tetap saja ngotot. Padahal ibu tak bisa berbahasa Inggris.

Saya rasa Allah telah menganugerahkan ibu sepasang 'tangan ajaib'. Saya ingat, belasan tahun lalu, saat saya duduk di bangku SD, rumah kami penuh dengan pernak-pernik. Saat itu, puluhan gulung pita berwarna-warni menumpuk di sudut kamar. Berjejeran pula berlembar-lembar karton tebal, busa, serta tumpukan kain. Saat itu, saya selalu senang memandangi dan bermain-main di 'pojok berantakan' milik ibu. Kedua tangannya telah menghasilkan barang-barang yang begitu menarik di mata saya. Saat itu, saya dengan gembira menyambut tawaran ibu untuk menjadi 'asistennya'. Dan saya pun asyik bergumul dengan plastik-plastik kecil, membukanya kemudian memasukkan pita rambut warna-warni hasil karya ibu, dan menjepitnya dengan stapler. Hanya itu. Ibu tak memperkenankan saya untuk menyentuh 'tempat foto' cantik buatannya, yang digantung berjejer di dinding mar. Belum lagi tumpukan souvenir pesta pernikahan, entah ada berapa ratus. Kegembiraan saya berada di antara benda-benda menarik itu seperti membuat saya lupa, bahwa saya sering menemukan ibu terkantuk-kantuk duduk di 'meja operasi'nya sampai tengah malam, menyelesaikan pesanan.

Ibu telah menghabiskan entah berapa bagian waktu dalam hidupnya untuk menjadi 'ember' ternyaman bagi diri saya. Di sanalah saya menumpahkan segala macam hal yang sering membuat ibu tersenyum geli, tertawa, atau mungkin juga turut bersedih atas apa yang saya alami. Ajaibnya, kini saya tak lagi perlu memulai percakapan itu. Sepertinya ibu telah mengetahui segala isi hati saya, tanpa perlu saya ungkapkan. Begitukah seorang ibu? Saya sempat berpikir, tak usahlah lagi menceritakan segala hal padanya. Mungkin itu hanya akan menambah lelahnya. Saya memutuskan untuk berhenti berceloteh pada ibu, toh saya sudah dewasa, dan tak lagi pantas memberatkannya dengan hal-hal tak penting macam celotehan itu. Namun hari itu, ibu menelpon saya ke kantor dan menegur saya, "Ta, kapan kamu ke rumah? Kita kan udah lama nggak cerita-cerita..."

Ibu tak hanya pendengar setia bagi celoteh anaknya, namun ia juga telah memberi dan mengajarkan saya banyak hal melalui kedua 'tangan ajaib'nya. Ia mengajarkan saya untuk selalu berusaha menjadi pendengar yang baik bagi orang lain, melalui mimik wajah serta kalimat-kalimatnya menanggapi setiap perkataan yang saya ucapkan. Saya belajar, bahwa setiap perhatian kecil yang diberikan kepada seorang anak, maka yang tersimpan padanya adalah sebuah kasih sayang besar dan keyakinan bahwa ia disayangi. Saya belajar, bahwa kedua tangan anugerah Allah ini, adalah modal bagi kerja keras yang harus dilakukan demi orang-orang tercinta, keluarga. Entah apapun yang dapat diperbuat.

Saya tak heran, betapa banyak teman dan relasi bisnis yang ibu miliki sekarang. Banyak pula kerabat dekat yang betah berlama-lama mengobrol dengan ibu. Tak sedikit orang yang mengagumi 'bakat' yang mereka katakan terhadap keterampilan yang ibu miliki. Ibu menyebutnya hobi, tapi saya memahaminya sebagai cara ibu bersenang-senang dengan 'tuntutan' padanya untuk membantu ayah membiayai keluarga. Seringkali lelah membayang dalam raut wajah ibu, namun tak jarang saya mendapatinya berbinar kala 'tangan ajaib'nya telah berhasil 'menciptakan' karya baru.

Sekarang ini, adalah giliran saya untuk menjadi 'telinga terbaik' bagi ibu sampai hari tuanya nanti, dan mempersembahkan hasil yang dapat saya raih dari kedua belah tangan ini untuk membahagiakannya.

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home