:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Wednesday, September 21, 2005

Mengingat Kematian

Sus Woyo

Suatu hari, seorang lelaki sedang tiduran di bawah pohon apel. Tiba-tiba salah satu dari buah apel gugur dan menimpa salah satu bagian badannya. Laki-laki itu lantas berpikir. Kenapa barang ini jatuh ke bawah? Bagi orang biasa, jatuh ke bawah adalah hal biasa, sebab yang namanya jatuh, sudah pasti ke bawah. Tidak perlu pemikiran yang lebih sulit lagi. Tapi bagi laki-laki berotak cerdas ini menjadi hal yang luar biasa. Dan dari gerilya pemikiran laki-laki inilah lahir teori gravitasi bumi yang mashur itu. Dan laki-laki itu bernama Newton, fisikawan Eropa.

Tiba-tiba, suatu hari saya mengingat laki-laki itu. Sebab ketika saya sedang santai di bawah pohon mangga, setelah letih bekerja, tiba-tiba salah satu buah mangga, jatuh dan menimpa saya. Karena otak saya tidak secerdas otak Newton, kejadian itu juga saya pandang biasa-biasa saja. Tapi ada satu yang menjadi luar biasa adalah, ketika yang jatuh itu adalah buah yang masih muda. Bahkan untuk menjadi masak, buah ini perlu proses alamiah yang lebih lama lagi.

Kenapa mangga muda yang jatuh? Bukankah ada mangga yang lebih layak jatuh terlebih dahulu? Pandangan umum manusia, suatu saat akan sangat berbeda dengan kekuasaan Sang Maha pencipta. Kita mengatakan, benda ini layaknya begini dan begitu. Tapi, Allah SWT mempunyai hak prerogatif untuk berkata dan bertindak lain. Dalam bahasa orang-orang yang beriman: Apa yang terjadi di dunia ini, sudah barang tentu ada dalam lingkup qada dan qadar-Nya. Dan jatuhnya mangga muda itu, tak hanya sekedar terkena tiupan angin yang berhembus belaka, tapi di balik itu semua, Allah SWT ikut berperan di dalamnya.

Alhamdulillah, dari jatuhnya mangga itu, saya diingatkan untuk yang kesekian kalinya oleh Allah, untuk mengingat kembali sesuatu yang sangat penting, yaitu kematian. Ada sebuah kisah, bahwa seorang saleh zaman dulu, pernah meletakkan batu nisan di depan pintu rumahnya. Tujuannya tak ada lain hanyalah agar setiap saat ia bisa mengingat kematian. Itu tentu wajar -wajar saja, sebab datangnya ajal adalah sebuah kepastian, dan tak ada satu mahlukpun yang mengetahuinya.

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang ajalnya. Dan Allah maha mengtahui apa yang kamu kerjakan. (QS 63:11)

Dan dalam perjlanan hidup saya, saya tidak harus meletakkan batu nisan di depan pintu rumah saya. Kalau berpikir ke belakang sana, sudah sangat sering sebenarnya saya diingatkan tentang hal tersebut. Hal-hal yang seharusnya saya lebih waspada dan cepat-cepat berbuat amal kebaikan. Sebelum kematian menjemput saya.

Ketika saya berumur sepuluh tahun, adik yang sangat saya sayangi, adik yang selalu saya gendong ke sana ke mari kalau ibu saya memasak atau ke kebun, dipanggil oleh Allah SWT. Masuk SMP, kembali Allah mengingatkan saya, dengan meninggalnya bapak saya, yang baru berusia 40-an. Umur yang masih sangat produktif, dan saya masih sangat membutuhkan pendidikan darinya.

Setelah meninggalnya bapak saya, saya jadi sering sekali pergi ke kuburan untuk men-ziarahi makamnya. Atau saya sangat sering pergi ke tempat tersebut, karena saya sering ikut menggali kubur kalau saudara atau tetangga saya meninggal.

Dewasa sedikit, saya lebih sering masuk ke liang lahat, untuk menghadapkan wajah sang mayat ke kiblat, sebelum ditimbun dengan tanah. Saya sering sekali melihat wajah-wajah terakhir orang yang mau menghadap-Nya. Atau saya sering sekali diajak oleh mudin, orang yang mengurusi tentang kematian di kampung untuk menjadi asistennya. Saya membantu mempersiapkan kain kafan, ikut memandikan jika mayatnya laki-laki dan sekaligus ikut membantu membungkusnya.

Sebelum saya berangkat merantau ke Brunei, saya banyak dihubungi tokoh-tokoh masyarkat desa saya, agar saya jangan merantau lagi. Mereka menginginkan saya agar jadi Kaur Kesra, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat. Yaitu suatu struktur organisasi desa yang mengurusi tentang kesejahteraan rakyat, pernikahan dan sekaligus tentang urusan kematian. Tapi saya menolak dengan sopan. Saya merasa masih terlalu muda untuk mengurusi hal kemasyarakatan, dan lebih menghormati senior saya, tentu yang ilmu agamanya lebih dari saya.

Dan hari-hari ini, alhamdulillah, Allah masih sayang kepada saya, bahwa di perantauan inipun Allah memberikan pekerjaan dengan sesuatu yang berhubungan dengan kematian. Setiap hari, kalau saya membuat mie putih ala Cina, saya harus mencuci kain putih sepanjang lima meter. Kain yang selalu mengingatkan saya kepada pembungkus mayat. Dan Kalau saya membuat tahu, juga saya selalu berhadapan dengan kain putih untuk menyaring susu kedele. Dan tentu saja ini juga mengingatkan saya kepada benda yang akan dibawa jika kelak kita meninggal dunia.

Maka, ketika saya kejatuhan mangga muda, saya merenung. Sudah sering sekali Allah mengingatkan saya dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian, tapi apakah saya sendiri sudah ingat dengan kematian yang akan menimpa saya? Dan sudah cukupkah bekal saya jika tiba-tiba Izrail menemui saya? Sudahkah saya termasuk golongan orang-orang cerdas menurut prespektif Rasulullah? Karena menurut Rasulullah orang-orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematian.

Saya meraba diri saya, dengan mengingat perbuatan selama hidup saya ini. Saya mencoba bercermin dengan para salafusshaleh, sudah sejauh manakah jejak mereka yang saya laksanakan. Dan sudah sejauh mana kelayakan saya jika menghadap-Nya.

Otak saya terus bergerilya. Walaupun otak saya tidak secerdas seperti para penerima beasiswa, apalagi deretan ilmuwan fisika dan para penerima hadiah Nobel, seperti Newton misalnya, tapi mudah-muahan Allah memasukan saya kepada deretan orang-orang cerdas menurut kacamata khatamul ambiya, Muhammad SAW. Yang selalu mengingat akan datangnya kematian. Itulah yang tak henti-hentinya saya mohonkan pada-Nya.

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home