:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Tuesday, September 06, 2005

Dunia Kata-Kata

Azimah Rahayu

Purnama menggantung di langit Jakarta.
Temani aku susuri jalan menuju pulang.
Tiba-tiba aku rindu purnama di sudut jiwa.
Masihkah ia bersemayam di sana?
Dan gerimis pun menjelma


Kata-kata itu saya tulis di handphone dan saya kirim ke beberapa sahabat suatu ketika, saat malam telah merangkak jauh dan saya masih juga bergelut dengan jalanan Jakarta. Biru menjadi warna segenap rasa saya waktu itu. Tapi hanya satu orang yang menukarnya dengan kata-kata pula. Yang lain tak menjawab. Bahkan satu orang mempersepsikan dengan lugas. Anti kenapa kok sedih sekali? Kayak yang nangis? Tuh kan pulang malam lagi belum sehat bener.Tersenyumlah!

Demikian sms balasannya. Saya memang tersenyum membaca sms balasnnya, tapi lebih berupa senyum geli atas persepsinya terhadap kata-kata saya. Nyengir tepatnya. Terlepas dari perhatiannya yang tulus, saya paham bahwa dia tidak mengerti kata-kata seperti pengertian yang saya punya. Saya tahu dia tidak memaknai kata-kata seperti saya memaknainya. Tapi itulah adanya. Kata-kata, tidak semua orang mengerti, memahami, apalagi merasainya. Dan karenanya saya punya slogan “Saya mencintai kata-kata dan para pecinta kata-kata.” Demikian kalimat itu saya lontarkan kepada beberapa sahabat. Beberapa saja. Karena mereka dan saya memiliki dunia yang sama: dunia kata-kata. Dunia yang kadang tak dimengerti oleh orang-orang pada umumnya. Maka kemudian itulah yang membuat para pecinta kata-kata menjadi istimewa di mata dan hati saya. Saya membutuhkan mereka untuk bertukar kata-kata, melepas beban, berbagi rasa, mengolah imaji dan semua hal dalam dada yang tak bisa diungkap dalam dunia keseharian kita. Dan karena itu, kata-kata menjadi sesuatu yang eksklusif bagi saya. Saya nikmati sendiri, atau saya tukar dengan beberapa sahabat saja.

Hingga hari ini. Ketika saya tengah bergumul dalam dunia kata-kata, tiba-tiba sebuah telepon internal mengejutkan saya. Saya dipanggil Bapak Sekretaris Badan. Terkejut tentu saja. Sebagai staf biro teknis,
dipanggil sekretaris badan adalah suatu hal yang luar biasa. Karena semestinya tanggungjawab pekerjaan saya lebih banyak terlibat dengan kepala biro teknis atasan saya, bukan sekretaris badan. Ada apakah? Saya turun ke lantai tiga sambil bertanya-tanya dalam hati. Biasanya, panggilan itu secara garis besar dapat diartikan satu dari dua hal: saya melakukan kesalahan/pelanggaran fatal, atau saya akan mendapat tugas/reward tambahan. Bahkan sekretaris Pak Sekretaris Badan pun menyambut saya dengan pertanyaan serupa, "Ada apa sih, mbak? Kok sampai dipanggil segala? Tidak melakukan kesalahan kan? Saya hanya tersenyum menggeleng karena benar-benar tidak tahu mengapa."

Ketika saya masuk ke ruangan Sang Sekretaris Badan, senyum ramah beliau melegakan saya. Karena itu sudah berarti satu hal: saya dipanggil bukan karena melakukan kesalahan/pelanggaran fatal. Beliau membuka percakapan dengan pertanyaan, ”Mbak Azimah Rahayu? Ini tulisanmu?” Katanya sambil menunjukkan monitor komputer beliau ke hadapan saya. Salah satu tulisan saya terpampang di sana. Tulisan tentang keteladanan seorang pegawai di kantor kami yang saya publikasi di eramuslim.com dan entah oleh siapa diupload ke intranet kantor kami. “Sudah lama saya pengin ngobrol dengan Mbak. Tapi selalu lupa,” sambung beliau.

Dan obrolan panjang pun kemudian terjalin di antara kami. Kami bertukar cerita tentang tulisan-tulisan hikmah yang menyentuh yang perlu dihadirkan di ruang-ruang perkantoran. Beliau bercerita panjang ebar tentang kecintaannya pada dunia sastra, juga aktifitasnya di zaman dulu yang sering menulis dan erteater. Bahkan beliau bercerita bahwa Bapak Kepala Badan, instansi tempat kami mengabdi ternyata juga pecinta kata-kata. Kadang-kadang beliau memulai rapat dengan kata-kata hikmah. Dengan syair-syair yang menggugah. Bahkan ketika membacakannya pun menggunakan irama, tidak datar begitu saja.

“Kamu menulis puisi juga?” Tanya Pak Sekretaris Badan. Saya mengangguk malu. “Hanya untuk curhat, Pak...” sahut saya tersipu. “Boleh kapan-kapan saya baca puisimu pas rapat atau acara-acara resmi kantor? Orang bilang saya cukup mampu membaca puisi. Saya suka mengantongi buku kumpulan puisi dan biasa membacakannya di forum-forum, termasuk acara tujuh belasan,” Jelas beliau panjang lebar. Saya tertawa kecil. Tiba-tiba saya teringat seorang sahabat yang juga pecinta kata-kata. Dia biasa diminta untuk membuat puisi untuk dibacakan pada acara-acara resmi seperti pelepasan pegawai purna tugas atau rapat kerja di kantornya. Saya sampaikan cerita itu kepada Pak Sekretaris. Beliau mengangguk-angguk gembira. “Itu maksud saya!”

Selanjutnya kami bertukar ide tentang apa yang dapat kami lakukan untuk menjadikan kata-kata lebih familiar dalam kehidupan keseharian kantor kami khususnya, dan Departemen [Keuangan] pada umumnya. Seperti membuat perpustakaan yang menyediakan bacaan-bacaan menyentuh dan buku-buku sastra, agar perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku teori ekonomi dan keuangan belaka.
“Kering sekali rasanya,” begitu kata beliau. Atau membuat kegiatan yang berbau seni dan sastra. “Bapor Departemen itu sekarang namanya Baporseni. Kemarin saya yang mengusulkan. Jadi kalau kita buat kegiatan seni, termasuk seni kata-kata yang membangun jiwa akan bagus sekali,” lanjut beliau. ”Jangan dinikmati sendiri kata-kata itu. Berbagilah dengan khalayak. Alangkah indah jika kata-kata menjadi jiwa dalam setiap bidang kehidupan kita.”

Kalimat terakhir itu membuat saya tertegun cukup lama. Dan kemudian menyadarkan saya bahwa selama ini saya telah tenggelam dalam kata-kata. Sendirian saja. Atau paling banter sekedar berbagi dengan beberapa teman dan komunitas di luar kantor. Saya lupa bahwa lingkungan sekeliling saya, para staff kantor pun perlu disapa dengan kata-kata. Bukankah para ulama bijak bestari berkata bahwa sastra itu melembutkan jiwa? Mengapa kita tidak mendekatkan sastra dengan dunia ekonomi, para polisi, kantor-kantor dan sebagainya?

Tiba-tiba saya terbayang suatu saat kata-kata tidak hanya ditukar di antara para penyair dan pecinta ta-kata. Tapi akan ada rapat-rapat kerja, seminar, pelatihan dan lain-lain dimulai dengan pembacaan syair-syair yang menggugah dan menyentuh. Tapi akan ada taushiyah dalam kata-kata di majelis-majelis intranet kantor. Tapi akan ada buku-buku sastra dan buku-buku pembangun jiwa di perpustakaan gedung-gedung tinggi.Tapi akan ada majelis kata-kata di koridor-koridor kantor. Hingga kata-kata menjadi virus yang menyebar di segala segi kehidupan. Dan saya pun membayangkan kata-kata menjadi jiwa dalam setiap sisi kehidupan kita. Suatu saat.

Kini semua itu harus dimulai. Saya harus memulai, meski dengan sederhana. ”Bikin proyek yang realistis, kecil saja dulu!” begitu pesan Pak Sekretaris Badan pada saya. Sambil memulai proyek itu, saya berbisik padamu: Kau tertarik memulainya pula di kantormu, sahabat?

go to the top of the page

1 Comments:

Post a Comment
<< Home