:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Wednesday, June 01, 2005

Memegang Kebenaran


Pada zaman dahulu, ada seorang pedagang yang mempunyai seorang istri jelita dan seorang anak laki-laki yang sangat dicintainya. Suatu hari istrinya jatuh sakit dan tak berapa lama meninggal. Betapa pedihnya hati pria tersebut. Sepeninggal istrinya, dia mencurahkan segenap perhatian dan kasih sayangnya kepada anak laki-laki semata wayangnya.

Suatu ketika pedagang tersebut pergi ke luar kota untuk berdagang; anaknya ditinggal di rumah. Sekawanan bandit datang merampok desa tempat tinggal mereka. Para penjarah ini merampok habis harta benda, membakar rumah-rumah, dan bahkan menghabisi hidup penduduk yang mencoba melawan; rumah sang pedagang pun tak luput dari sasaran. Mereka bahkan menculik anak laki-laki sang pedagang untuk dijadikan budak.

Betapa terperanjatnya sang pedagang ketika ia pulang dan mendapati rumahnya sudah jadi tumpukan arang. Dengan gundah hati, ia mencari-cari anak tunggalnya yang hilang. Ia menjadi frustrasi ketika mendapati banyak tetangganya yang terbantai dan mati terbakar.

Di tengah kepedihan dan keputusasaan, ia menemukan seonggok belulang dan abu di sekitar rumahnya, di dekat tumpukan abu itu tergolek boneka kayu kesayangan anaknya. Yakinlah sudah ia bahwa itu adalah abu jasad anaknya. Meledaklah raung tangisnya. ia menggelepar-gelepar di tanah sembari meraupi abu jasad itu ke wajahnya.
Satu-satunya sumber kebahagiaan hidupnya telah terenggut..

Semenjak itu, pria tersebut selalu membawa-bawa abu anaknya dalam sebuah tas. Sampai setahun setelah itu ia suka mengucilkan diri, tenggelam dalam tangis sampai berjam-jam lamanya; kadang orang melihat ia tertawa sendiri, mungkin kala itu ia teringat masa-masa bahagia bersama keluarganya. Ia terus larut dalam kesedihan tak terperikan..

Musim berlalu. sang anak akhirnya berhasil meloloskan diri dari cengkeraman para penculiknya. Ia bergegas pulang ke kampung halamannya. Sesampai di kediaman ayahnya, ia mengetuk pintu rumah sembari berteriak senang, "Ayah, ini aku pulang!"

Sang ayah yang waktu itu lagi tertidur diranjangnya, terbangun mendengar suara itu.
Ia berpikir, "Ini pasti ulah anak-anak nakal yang suka meledekku itu!"
"Pergi! Jangan main-main!"
Mendengar sahutan itu, sang anak kembali berteriak, "Ayah! Ini aku, anakmu!
Dari dalam rumah terdengar lagi, "Jangan ganggu aku terus! Pergi kamu!"
Sang anak menggedor pintu dan berteriak lebih lantang, "Buka pintu ayah! Ini betul anakmu!"
Mereka saling bersahutan. sang ayah terus bersikeras tidak membuka pintu. Sang anak pun akhirnya putus asa dan berlalu dari rumah itu..

Sang Guru menutup cerita itu dan menyampaikan, "Sebagian orang begitu erat memegang apa yang mereka ANGGAP sebagai kebenaran. Ketika Kebenaran Sejati betul-betul datang, belum tentu mereka membuka pintu hati mereka."

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home