:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Tuesday, June 21, 2005

Kisah Ayah Tentang Ayahnya

Bayu Gawtama

Tiga bulan sudah saya tak mengunjungi Ayah, walau dua hari sekali masih sering telepon langsung untuk mendengar suaranya atau sekadar SMS menanyakan kabar kesehatannya. Rindu, itu kata yang paling mewakili untuk menggambarkan perasaan saya padanya, mungkin juga yang dirasa Ayah di sana. Diri ini selalu percaya, rindu yang tak pernah lekang dimakan waktu, yang tak pernah sirna dihempas angin, yang tak mungkin pupus diterik matahari adalah rindu orang tua terhadap anaknya. Rasa rindu yang belum pasti dimiliki anak terhadap orang tuanya.

Benarlah, sepuluh menit setelah bercengkerama dengan cucu-cucunya, Ayah menghampiri saya dan menanyakan kabar apa pun tentang saya, keluarga, pekerjaan, aktivitas sosial yang biasa saya geluti, sampai soal selokan di depan rumah yang kerap tergenang. Dan tak lama setelah saya menceritakan semua yang diingintahuinya itu, ganti ia yang bercerita tentang dirinya, kegiatan jalan paginya, HP baru hadiah dari abang saya yang baru pulang dari luar negeri, acara reuni dengan sahabat-sahabatnya semasa aktif di kantor dulu, hingga nyaris tak ada lagi yang bisa diceritakan. Ia, seolah tengah menemukan telinga selebar lautan yang siap menampung semua kisahnya, dan itu adalah telinga saya.

Tak terasa tiga jam lebih kami berbicara, pembicaraan yang begitu dekat, antara sesama hati yang merindu. Tapi dari semua yang diceritakannya, ada satu yang teramat menarik bagi saya, sepenggal kisah tentang masa kecilnya bersama Ayahnya. Bercerita Ayah tentang Ayahnya, saya memanggilnya Babah. Suatu sore, ia tengah bermain kelereng ketika Babah hendak memintanya membeli minyak tanah. Tahu anaknya tengah bermain, ia mengurungkan niatnya dan membiarkan anaknya terus bermain. Kemudian Babah hanya berpesan kepada salah seorang keponakannya, "Bilangin si mbing kalau mainnya sudah selesai, Babah mau suruh dia beli minyak tanah".

Mpok Mul, begitu Ayah memanggil kakak sepupunya itu pun menghampiri adiknya, "Mbing, Babah bilang kalau mainnya sudah selesai tolong beliin minyak tanah". Si anak pun bergegas menyudahi permainannya setelah meminta izin kepada teman-temannya.

***
Ayah menegaskan kalimat "kalau mainnya sudah selesai" dan itu berkali-kali diucapkannya dengan tegas untuk saya perhatikan. Menurutnya, Babah mengatakan itu ada maknanya, Ayahnya hanya ingin menyuruhnya membeli minyak tanah setelah ia memenuhi hak anak untuk bermain. Sebagai seorang Ayah, ia tak ingin mengganggu hak bermain anaknya, meski sebagian orang tua merasa berhak untuk meminta anaknya melakukan apa pun perintahnya tanpa boleh membantah.

Babah, kata Ayah, meski hanya lelaki lulusan Sekolah Rakyat kelas tiga setingkat kelas tiga SD, sangat mengerti psikologi mendidik anak. Orang tua yang ingin dihormati haknya oleh anak semestinya juga menghormati hak anak, salah satunya adalah hak untuk bermain, karena bermain merupakan cara anak-anak untuk belajar bersosialisasi. Tugas orang tua hanya memberi tahu batas-batas dalam bermain, misalnya soal waktu, dan juga pekerjaan utama di rumah yang semestinya didahulukan sebelum bermain.

Ayah pun bertanya kepada saya, "Bagaimana perasaan kamu kalau lagi main, dan kondisi kamu sedang kalah. Lalu Ayah memanggil kamu?" "Tidak ikhlas," jawab saya. Ya, Babah tidak mau anaknya menjalankan perintahnya secara tidak ikhlas, dengan hati yang menggerutu, dengan dada yang disesaki rasa kesal. Sebaliknya, jika si anak sedang menang dan Ayahnya memanggil, siapa yang kesal? Pastilah teman-teman anaknya, "Bapak lu brengsek, tahu anaknya lagi menang dipanggil." Sudah pasti ada dua orang yang dirugikan, Ayah dan anaknya. Ayahnya dibilang 'brengsek', anaknya mungkin akan dikucilkan dalam permainan berikutnya.

Hmm, tiga jam tak kan pernah sia-sia untuk berbicara dengan Ayah. Ada banyak pelajaran baru yang bisa saya ambil dari kisah-kisahnya. Dan sudah pasti saya akan selalu merindui perjumpaan dengannya, sampai kapan pun.

Terima kasih Ayah.

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home