:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Monday, May 02, 2005

Suara Azan di Masjid Kami

Oleh Prie GS


Walau bukan negara Islam, tapi karena mayoritas penduduknya beragama Islam, wajar jika jumlah masjid di Indonesia banyak sekali. Apalagi jika pembangunan masjid itu mencontoh tradisi di kampung kami, yang secara tak sengaja menempuh konsep satu RW satu masjid. Jika satu kelurahan rata-rata terdiri dari tujuh RW saja misalnya, bisa dilacak berapa jumlah kelurahan di Indonesia. Dari jumlah kelurahannya, akan bisa dihitung berapa jumlah masjidnya. Yang jelas angkanya pasti besar sekali.

Tapi bukan jumlah masjid itu yang menarik perhatianku, melainkan berapa jumlah muazin atau pelantun azan yang ada di seluruh masjid kita itu. Jika adat kampungku juga boleh dijadikan patokan, maka sebuah masjid bisa memiliki empat hingga lima muazin relawan. Jumlah ini bisa saja bertambah secara dadakan, karena masjid kampungku adalah wilayah yang terbuka. Siapa saja boleh melantunkan azan, asal mau.

Mekanisme ''asal mau'' inilah manajemen rekrutmen muazin di kampungku. Jika rata-rata masjid menggunakan rekrutmen unik seperti ini, hasilnya pasti juga akan unik. Dari empat pelantun azan misalnya, bisa berkemungkinan sebagai berikut: satu bagus, satu biasa, satu fals, dan sisanya payah. Bisa pula satu biasa, satu fals, satu payah, sisanya sudah fals payah pula. Hasil yang lain bisa berupa keempat-empatnya biasa-biasa saja, atau malah ke empat-empatnya payah semua.

Tapi dari semua hitungan acak itu, ada hasil yang selalu tetap sifatnya: jumlah pelantun azan yang bagus ternyata selalu lebih sedikit dari yang payah. Artinya, jumlah masjid yang besar jumlahnya itu, jauh lebih banyak ditunggui oleh muazin yang payah suaranya. Tegasnya lagi, begitu banyak masjid, tapi sedikit saja mutu keindahan azan di dalamnya. Harus dimengerti, karena untuk berazan, dasarnya adalah siapa mau, bukan siapa bermutu. Jadi niat, lebih dipentingkan dibanding mutu. Jadi, niat ibadah, jauh lebih penting katimbang mutu ibadah. Lho, rumusan ini jika diteruskan kok bisa malah membingungkan.

Tulisan ini bukan ledekan kepada muazin relawan, yang tetap bergairah memakmurkan masjid meski dengan suara pas-pasan. Kepada mereka justru pantas diberi penghargaan. Tanpa mereka, bisa-bisa masjid kita kesepian. Karena fakta ini juga segera menjelaskan, meski umat Islam ini besar, meski kontes baca Alquran selalu sukses diselenggarakan secara besar-besaran, meski kita memiliki begitu banyak pembaca Alquran yang cemerlang, tapi kenapa masjid yang banyak ini lebih diisi oleh mereka yang bersuara pas-pasan. Akan menggelisahkan jika jawabnya ialah karena hanya mereka yang mau jadi relawan.

Ada apa ini? Kenapa untuk hal sepenting ini, untuk pekerjaan dengan fungsi besar begini, umat Islam seperti gagal mempertemukan dua kepentingan yang saling membutuhkan. Kenapa masjid kita yang banyak itu tidak diisi oleh muazin terbaik kita yang juga banyak jumlahnya. Sungguh tidak nyaman rasanya, membangun begitu banyak masjid, menaikkan tinggi corong suara, menyetelnya keras-keras, tapi cuma untuk dipenuhi oleh azan yang payah mutu artistiknya.

Tapi ilustrasi kecil berikut semoga menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi. Suatu kali, aku pernah heran pada lelaki ini, orang yang suka berkeliling menyambangi masjid, termasuk di wilayah kami. Suatu kali, betapa kaget kami ketika orang ini bisa berazan dengan bagus sekali. Banyak di antara kami kaget pada azan yang tak biasa ini. Banyak orang melongok, siapa gerangan si empunya suara.

Jika setiap kali beginilah mutu suara azannya, betapa tentram dan teduhnya. Tidak pekak, tidak ngotot tidak main keras belaka. Jika ia menyambungnya dengan pujian-pujian, wah lunak sekali. Vibrasinya itu, cengkoknya itu, teduh luar biasa. Jadi jelas bedanya mana suara pujian mana suara uringan-uringan. Beginilah mestinya agama, teduh, tenang, menggunggah. Tidak kencang, tidak galak dan tidak asal kencang belaka. Tapi ya ampun, orang ini hanya mau azan sesekali. Ia pelit sekali. Ada kabar, orang ini nyentrik bukan main. Jika ia sedang mau berazan, karena ada sebungkus rokok sebagai bayarannya.

Ya Tuhan, begitu murah ternyata bayaran untuk muazin hebat ini, hanya sebungkus rokok. Semurah itupun belum ada satu takmir masjid pun yang melamarnya menjadi muazin resmi. Islam ini besar dan kaya. Jangankan hanya membayar sebungkus rokok, membayar orang seperti ini dengan gaji tinggi pun mestinya kuat-kuat saja. Persoalannya kapan kita berniat melakukannya. Agar syiar agama ini jadi indah, jadi menggugah.

go to the top of the page

1 Comments:

Post a Comment
<< Home