:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Thursday, May 12, 2005

Mengelola Keinginan


Tatkala seseorang sudah dikuasai keinganan yang menggebu, mata dan hatinya akan menjadi buta, akal sehatnya pun takkan berfungsi dengan baik. Ia cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginanya tersebut.

Tatkala terjadi banjir besar, Nabi Nuh AS diperintahkan Allah SWT untuk menaiki kapal yang telah dibuatnya. Selain orang-orang yang beriman, Nuh pun menaikkan berbagai jenis hewan yang berpasang-pasangan. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki tua yang tidak dikenalnya di dalam kapal. Nuh pun bertanya pada lelaki tersebut, ''Untuk apa kamu masuk ke kapal ini?''

Orang itu menjawab, ''Aku berada di sini untuk mempengaruhi sahabat-sahabatmu supaya hati mereka bersamaku, sementara tubuh mereka bersamamu.'' Ternyata, orang tua itu adalah iblis yang menyamar. Mendengar pengakuan itu Nabi Nuh berkata, ''Keluarlah kamu dari sini wahai musuh Allah! Kamu terkutuk!'' Kemudian si Iblis berkata pada Nuh, ''Ada lima hal yang dengan kelimanya aku akan membinasakan manusia. Akan kuberitahukan yang tiga dan kusembunyikan yang dua.''

Saat itu Allah SWT mewahyukan kepada Nuh agar meminta yang dua daripada yang tiga. Maka Nuh bertanya kembali, ''Apa yang dua itu, hai Iblis?'' Makhluk terkutuk itu pun menjawab, ''Dua hal yang membinasakan manusia adalah keinginan yang sangat, ambisi, kerakusan (al-hirst) dan kedengkian (al-hasad). Karena kedengkian inilah, aku dilaknat dan dikutuk Allah. Karena keinginan yang sangat itu pula, Adam dan Hawwa tergoda untuk menuruti keinginannya.''

Ada hikmah menarik yang dapat kita ambil dari kisah yang disampaikan Imam Abu Dawud dalam sunan-nya ini. Kita tidak layak menolak kebenaran sedikit pun walau yang mengungkapkan kebenaran tersebut adalah seorang durhaka. Semua tahu bahwa Iblis beserta keturunannya adalah pendusta, tapi dalam kasus ini kita 'wajib' mempercayai ucapannya. Bukankah Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa seorang Muslim itu lebih berhak mendapatkan hikmah, dan bila ia menemukannya, maka ia pun lebih berhak memilikinya.

Dalam kisah tersebut, iblis kecolongan dengan memberitahu salah satu rahasianya dalam menggelincirkan manusia, yaitu dengan keinginan yang teramat sangat (di sini termasuk pula sikap ambisius) dan kedengkian. Keduanya adalah senjata ampuh yang kerap kali digunakan iblis dan keturunannya untuk menghancurkan manusia, baik yang menyangkut kehormatan diri maupun hubungan yang terjalin di antara manusia.

Kedua penyakit ini ternyata tidak dapat dipisahkan. Lahirnya kedengkian seringkali diawali karena keinginan yang sangat akan sesuatu. Imam Al-Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin mengungkapkan bahwa keinginan yang sangat bisa melahirkan dengki dan penyakit-penyakit jiwa lainnya. Tak heran bila Al-Ghazali menyebut al-hirst sebagai "pintu syetan" yang akan memudahkan syetan memasukkan penyakit-penyakit lain pada diri manusia.

Tatkala seseorang sudah dikuasai keinginan yang sangat akan sesuatu, mata dan hatinya akan menjadi buta, akal sehatnya pun takkan berfungsi dengan baik. Ia pun akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya tersebut. Karena itu Rasulullah SAW bersabda, ''Kalau engkau sudah mencintai sesuatu, maka kecintaanmu terhadapnya akan menyebabkan kamu buta dan tuli.''

Orang yang tengah dirasuki keinginan menggebu cenderung melakukan tindakan yang tidak dibenarkan agama. Bahkan, sebagian besar tindak kriminal dan kedzaliman -- baik yang kasar maupun halus atau yang tampak maupun tersembunyi -- berawal dari keinginan yang tidak terkendali. Seorang pejabat rela memakan uang rakyat, karena ia tidak bisa menahan keinginannya untuk semakin kaya. Seorang suami yang awalnya sangat alim, rela menjadi koruptor karena terlalu banyaknya keinginan sang istri. Sepasang muda mudi rela berzina, karena syahwat yang tak terkendali. Begitu pula, seorang penguasa berani menghalalkan segala cara agar posisinya tidak tergoyahkan.

Keinginan yang sangat, sifat ambisius, dan kerakusan dapat pula melahirkan persaingan tidak sehat. Akibatnya, untuk memenuhi sebuah keinginan--entah itu pada harta, pangkat, jabatan, atau populatitas--seseorang rela menjegal lawan saingnya, saling sikut, hingga injak bawah jilat atas. Dari persaingan semacam ini lahirlah kebencian, dendam, dan dengki. Tatkala kita gagal meraih apa yang diinginkan, dan orang lain berhasil mendapatkannya, maka timbullah dengki. Dan setinggi-tingginya dengki adalah berupaya agar kenikmatan yang ada pada orang lain hilang atau berpindah pada kita.

Memperturutkan keinginan sama artinya dengan meminum air laut, semakin di minum semakin haus dan semakin ingin minum lagi. Apa sebabnya? Karena keinginan manusia itu tidak ada batasnya. Keberhasilan memenuhi apa yang diinginkan tersebut biasanya akan melahirkan keinginan-keinginan baru. Misal, kita menginginkan menjadi seorang pejabat, dan dengan izin Allah keinginan itu terpenuhi. Tapi setelah kita menduduki jabatan tersebut, akan timbul keinginan baru: memiliki gaya hidup sebagai seorang pejabat tinggi, ingin dihormati, tidak mau diturunkan, dan kalau perlu mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi.

Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa manusia itu kalau diberi sebuah gunung emas, ia akan mencari gunung emas yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Ia baru puas tatkala mulutnya sudah diisi dengan tanah (meninggal).

Mungkin timbul pertanyaan, bukankah keinginan adalah sesuatu yang wajar? Kalau begitu, keinginan seperti apa yang boleh dan tidak boleh dipenuhi? Di sini kita harus membedakan dulu antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi dan sifatnya mendesak, urgen, atau penting. Misal, kita membutuhkan makanan tatkala kita lapar. Atau, kita membutuhkan rumah tatkala kita tak punya tempat tinggal. Berbeda dengan kebutuhan, keinginan adalah sesuatu biasanya tidak terlalu urgen, dan tidak menimbulkan konsekuensi fatal bila tidak dipenuhi. Misal, kita "ingin" makan bakso padahal kita sudah makan sepiring nasi.

Dalam tataran global, interaksi antara keinginan dan kebutuhan menjadi ciri khas dari budaya konsumerisme. Satu ciri khas perilaku konsumerisme adalah mengkonsumsi sesuatu produk bukan alasan kegunaan (utility), tetapi lebih berat pada pertimbangan citra (image) yang melekat pada produk itu. Sesuatu produk bukan lagi dilihat dari fungsi substansialnya, tetapi lebih ditekankan pada makna yang melekat pada produk tersebut. Di sini produk telah berubah menjadi sesuatu yang memiliki makna simbolik. Dalam mengkonsumsi suatu produk orang lebih mementingkan image yang melekat pada produk itu daripada kegunaannya. Produk akan lebih dilihat dari hubungannya dengan citra, kemewahan dan kenikmatan baru, sehingga semakin langka dan terbatas suatu produk, semakin tinggi pula makna simbolik yang melekat pada benda itu.

Bagaimana mengatasinya prilaku seperti ini? Pertama, membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Ketika terbetik suatu kehendak untuk memiliki atau mengkonsumsi sesuatu, bertanyalah apakah ini suatu kebutuhan atau hanya sekadar keinginan yang tidak perlu. Kedua, bila memang itu sebuah keinginan kita harus berupaya membatasinya. Tak ada seorang manusia pun yang sanggup memenuhi semua keinginannya, kendati ia seorang raja.

Karena itu, kita harus mampu membatasi keinginan-keinginan yang ada. Membatasi bukan berarti menghilangkan, membatasi adalah memilih keinginan yang: bermanfaat dunia akhirat, tidak merugikan orang lain, sesuai dengan kemampuan diri, dan tentunya bernilai ibadah. Ada satu kaidah yang layak dijadikan acuan: "Jangan bertindak karena sekadar ingin, bertindaklah karena itu memang sebuah kebutuhan (keharusan)." Wallahu a'lam bish-shawab.

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home