:: Mutiara Kata Pembuka Hati ::

What's.....

Children

(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams
You may strive to be like them, but seek not to make them like you
For life goes not backward nor tarries with yesterday
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also The bow that is stable


Monday, May 09, 2005

Jika Mengukur Diri Terlalu Tinggi

Oleh Prie GS

Derita ternyata bisa lewat pintu apa saja, termasuk lewat apa yang selama ini dipahami sebagai mulia. Misalnya, ketika diri sudah merasa mulia, hati-hatilah, karena itulah saat terbaik bagi derita untuk memulai aksinya. Karena, orang-orang yang sudah merasa masuk derajat mulia itu bisa demikian rewel hidupnya.

Jika ia hidup di kampung, ia merasa terlalu hina jika harus ikut jaga malam, nongkrong di pos ronda, memukul lonceng besi, apalagi jika harus keliling dari rumah ke rumah tetangganya. Bagi orang ini, perlawanan atas rukun tetangga seperti itu, malah dianggap sebagai bukti kelebihannya. Lebih-lebih jika ia merasa tak satupun tetangga berani menentang aksinya.

Hal ini membuat ia tambah yakin, bahwa ia memang memiliki tingkat kemuliaan itu sehingga berhak menentukan peraturannya sendiri. Padahal, semakin orang ini yakin pada kemuliaannya, semakin jauh saja ia didera salah sangka. Karena tanpa ia tahu, semua ulahnya itu telah dicatat dengan rapi oleh semua warga. Ia dicibir secara rahasia tapi merata ke seluruh desa. Dan suatu saat, jika saatnya tiba, cibiran itu akan berubah menjadi pembalasan dendam. Bentuknya bisa bermacam-macam. Terendah bisa berupa aksi boikot warga jika orang mulia ini sedang mengundang hajatan.

Terus jika ia adalah artis, rasa mulia itu malah lebih mahal lagi tebusannya. Lihat saja pengalaman panitia yang hendak menjemput jenis artis sok mulia ini. Berjam-jam mereka sibuk menunggu di bandara tapi ketika si artis tiba cuma bikin panitia ini kalang-kabut saja: si artis menolak naik mobil panitia yang ia anggap bukan levelnya. "Ini demi menghormati event Anda sendiri," kata sang artis dengan diplomasinya yang cerdas, tapi pasti palsu itu. Yang ia lakukan itu pasti lebih pada ambisi menghormati dirinya sendiri yang telah ia yakini sebagai mulia itu.

Sudah tentu, panitia ini hanya bisa berupaya sedemikian rupa. Patuh itu pasti, tapi sumpah serapah merajalela di dalam hati mereka. Entah karena efek kutukan dari panitia yang malang itu, si artis ini kemudian terkenal sebagai pihak yang tidak bahagia hidupnya. Tukang kawin cerai dan malah diisukan jadi simpanan pejabat pula. Tegasnya, orang yang gegap gempita dalam menghormati diri sendiri ini ternyata juga orang biasa-biasa. Bukan orang yang begitu mulianya sehingga sampai ada jenis mobil yang ia haram menaikinya.

Jika orang ini pejabat tinggi, kemana-mana ia memakai pangkat dan kekuasaan, termasuk cuma untuk pergi ke rumah makan dan ke tempat peribadatan. Jadi sambil menyembah Tuhan, ia sendiri mengusung kemegahan. Pengawalnya sibuk hilir mudik bukan demi keamanaan, tapi lebih pada demi unjuk kekuasaan. Ia menyangka orang-orang akan mengaguminya, tapi yang terjadi, orang yang dikira kagum itu justru sedang membayangkan masa pensiunnya nanti. "Pasti akan jadi edan oleh perasaan tidak dibutuhkan," kata si fulan!

Jika orang itu adalah seorang penceramah, ia akan didera oleh semacam penyakit pendengaran. Kupingnya terlalu peka untuk mendengar bunyi yang bukan ceramahnya. Terhadap omongan orang lain, ia tak cukup sabar untuk jadi pendengar. Jika orang lain juga punya ketrampilan berbicara seperti yang ia peragakan, ia akan menganggapnya sebagai lawan. Jika tak ada pihak yang meminta diceramahi, ia akan merasa sangat terhina dan pulang dengan kemarahan.

Jika orang itu adalah seorang yang cukup uang, ia akan memandang orang-orang sekelilingnya sebagai pihak yang kekurangan, bukan pihak yang hendak ia santuni, tapi sekadar untuk dia rendahkan. Jadi meskipun dalam peragaan ia sedang menyantuni, yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa ia tengah merendahkan. Maka banyakalah penyantun yang sehabis menyantuni lalu merasa berhak menasihati dan merasa unggul.

Orang ini lalu benar-benar merasa dirinya super, tanpa tahu bahwa ia bisa menjadi bahan tertawaan diam-diam, termasuk dari si penerima santuan. Karena penerima ini, meski diam, jelas bukan pihak yang bodoh dan tak sanggup melawan, tapi sekadar pihak yang tak merasa rugi jika santunan yang baru ia terima cuma harus dia bayar dengan diam. Jadi banyak pihak yang merasa mulia itu ternyata cuma berisi orang-orang yang menderita. Padahal daftar orang yang sok mulia itu pasti masih bisa ditambahkan, padahal salah satu dari daftar itu pasti berisi kita.

go to the top of the page

0 Comments:

Post a Comment
<< Home